- Back to Home »
- Lucu »
- Merdeka !
Thursday, 5 January 2012
Sepanjang tahun, ada satu hari yang membuat ibu-ibu dan bapak-bapak di RW kami berpenampilan beda. Begitupun para petugas sekuriti yang bertugas mengamankan RW kami.Hari itu adalah tanggal 17 Agustus karena setiap pagi pada hari itu diadakan upacara bendera.
Pada pagi itu, Pak RW yang biasanya punya penampilan pengusaha tulen beralih rupa. Setelan safari membalut tubuhnya lengkap dengan peci bertengger di kepalanya. Selaku inspektur upacara, sangat layaklah. Pengibar bendera, dari satuan sekuriti RW, bersepatu lars mengilap dan seragam licin disetrika. Sejak berhari-hari sebelumnya mereka telah berlatih baris-berbaris sebagai Paskibra. Peserta upacara pun, para warga dengan berbagai gayanya, dengan versi pakaian masing-masing, pukul 7.00 tepat sudah siap dalam barisan. Mereka berdiri tegak pasang muka keren. Meski ada yang cuma berkostum celana sedengkul dan kaus T-shirt.
Anda yang sudah merasa kenyang makan asam garam kehidupan barangkali tersenyum sinis, “Ah,ga penting tuh .…” Anda yang belum lama meninggalkan perguruan tinggi atau SMU, pasti juga geli. “Tak pantas lagee … sudah ketuaan.”
Sepertinya masalah “ke-upacara-an” telanjur dimasukkan dalam domain sekolah atau kemiliteran. Sehingga terasa aneh kalau itu diadakan dalam lingkungan sipil seperti RW saya itu. Kebetulan saya bekerja di sebuah institusi yang masih mengadakan upacara bendera di kantor setiap tanggal 17 Agustus. Upacara lumayan megah dan resmi dilengkapi marching band segala. Dibandingkan dengan versi kantor di mana saya bekerja, upacara bendera di RW saya itu kecii….il sekali. Sangat sederhana.
Namun, pengalaman pertama saya menghadiri upacara bendera di RW itu ternyata bersambung dengan kehadiran-kehadiran saya di tahun-tahun berikutnya. Padahal tak ada pemaksaan (kecuali barangkali para sahabat Pak Ketua RW yang tak enak hati kalau tak hadir).
Dari pembacaan Mukadimah UUD 1945, Pancasila, acara meningkat pada menaikkan bendera diiringi lagu Indonesia Raya. Suasananya hening, semua mata memandang ke bendera sambil tangan memberi hormat ala militer (meski dengan sentuhan pribadi, yang terus terang tidak semuanya sekeren versi resminya.) Pada saat itu, rasanya semua pancaindra saya bekerja dua kali lebih peka. Warna pepohonan di sekitar lapangan voli itu semakin matang hijaunya, semilirnya angin pagi terasa amat menyegarkan, hangatnya matahari pagi meresap sampai ke hati.
Demikianlah, setiap tanggal 17 Agustus, di lapangan voli kantor RW yang mungil itu, selama 40 menit, waktu serasa berhenti, nyawa saya seolah berhenti bernapas, jiwa hanya memandang ke satu titik: bendera yang naik perlahan-lahan, dan mata saya berkaca-kaca ketika mulut saya turut mengumandangkan lagu kebangsaan Indonesia Raya yang tidak semua orang kini masih hapal syairnya.
Saya teringat ketika pertama kali punya kesempatan keluar negeri. Waktu itu saya tergabung dalam acara pertukaran mahasiswa. Kami berangkat dengan berbekal pin bendera merah putih, yang ketika di Tanah Air terasa amat tak penting, tetapi terasa lain begitu kami menyematkannya pada dada jas seragam kami, berhadapan mahasiswa bangsa lain, di forum internasional. Beberapa minggu di sana, mulai terasa kerinduan pada es cendol, pada teriakan penjaja makanan, pada hiruk-pikuk kendaraan di jalanan, pada aroma khas Indonesia (mungkin berasal dari bumbu-bumbu masakan kita), yang tak saya temui di dunia lain itu. Dunia yang serba bersih, tertib, dan maju. Tempat di mana orang menyeberang jalan selalu pada tempat penyeberangan. Di mana semua orang disiplin mengantre dan membuang sampah pada tempatnya. Tapi mengapa saya merindukan situasi hiruk-pikuk, serba tak teratur, dan memusingkan, bernama Indonesia?
Saya teringat ketika pertama kali punya kesempatan keluar negeri. Waktu itu saya tergabung dalam acara pertukaran mahasiswa. Kami berangkat dengan berbekal pin bendera merah putih, yang ketika di Tanah Air terasa amat tak penting, tetapi terasa lain begitu kami menyematkannya pada dada jas seragam kami, berhadapan mahasiswa bangsa lain, di forum internasional. Beberapa minggu di sana, mulai terasa kerinduan pada es cendol, pada teriakan penjaja makanan, pada hiruk-pikuk kendaraan di jalanan, pada aroma khas Indonesia (mungkin berasal dari bumbu-bumbu masakan kita), yang tak saya temui di dunia lain itu. Dunia yang serba bersih, tertib, dan maju. Tempat di mana orang menyeberang jalan selalu pada tempat penyeberangan. Di mana semua orang disiplin mengantre dan membuang sampah pada tempatnya. Tapi mengapa saya merindukan situasi hiruk-pikuk, serba tak teratur, dan memusingkan, bernama Indonesia?
Ketika itulah saya mulai menyadari rasanya merindukan Tanah Air. Kerinduan yang hanya bisa muncul karena cinta. Meski ketidakpuasan terhadap penyelenggara pemerintahan tetap ada, meski kekesalan tetap membludak keluar terhadap koruptor-koruptor, tapi kerinduan pada kampung halaman, pada Tanah Air, ah, sulit sekali luntur.
Ternyata perasaan itu muncul lagi setiap kali saya memandang bendera dalam upacara singkat yang (sebetulnya bisa) amat membosankan. Barangkali karena cinta selalu membutuhkan simbol. Sama seperti cincin (atau apa pun) yang Anda berikan kepada pacar atau pasangan. Tak beda dengan ketika Anda memasang foto buah hati di dekat meja kerja, dan cukup dengan memandangnya, beban kerja sehari terangkat.
Bila sekarang Anda terbebani dengan rasa kesal pada segala ketidakberesan di negara ini, akan segala ketidakmerdekaan yang kini ada, cobalah hadir di upacara bendera 17 Agustus-an di kampung atau RW Anda. Siapa tahu, Anda akan diingatkan kembali pada rasa cinta itu. Indonesia, inilah aku. Dan pekikkan, “Merdeka!" Meski hanya di dalam hati. Ya, karena pekik merdeka kini menemukan relevansinya lagi. Pekik itu kini dilambungkan sebagai sebuah doa penuh harap. sumber